Cerita Misteri Jaga Mayit



Halo, perkenalkan, saya Rian. Panggil saja begitu, walaupun itu bukan nama asli saya. Cerita ini akan sangat bersinggungan dengan kehidupan keluarga saya, jadi saya memilih menyamarkan dengan mengganti identitas saya, anggota keluarga, serta beberapa detail dari cerita saya ini.


Kejadian ini terjadi pada 2009, kala itu saya masih menjadi salah satu mahasiswa di pulau Jawa. Kalau didasarkan pada garis keturunan, saya berasal dari Sumatera, namun karena kedua orang tua saya pindah merantau, jadilah saya lahir di pulau Jawa dan besar disini.


Walaupun demikian, keluarga saya rutin menyempatkan berkunjung ke rumah kakek dan nenek di kampung kami di Sumatera, kira2 satu sampai dua kali setahun. Itu juga yang membuat saya bisa berbahasa daerah asal saya sedikit sedikit.


Di kampung, saya memiliki beberapa keluarga, diantaranya nenek, serta dua anaknya, yaitu Tante Meri, dan Om Septian. Keduanya adalah adik kandung dari ibu saya yg merupakan anak sulung nenek. Sementara kakek sudah sejak 2005 meninggal akibat usianya yang telah renta dan sakit-sakitan.


Tante Meri adalah anak bungsu nenek, saat kisah ini terjadi, ia telah menikah dan sedang mengandung anak pertamanya. Tante Meri selaku anak bungsu sangat dekat dengan nenek dan terus menjaga nenek. Ia dan suaminya tinggal di rumah sebelah rumah nenek, selain karena memang tidak mau jauh-jauh dari sang ibu, Tante Meri juga dititipkan oleh ibu saya dan Om Septian untuk merawat nenek yang sudah berusia renta.


Sementara Om Septian adalah seorang duda dan juga berada di kampung, namun pekerjaannya sebagai supir truk besar antar pulau membuatnya jarang ada di rumah dan tidak bisa menjaga nenek.


Nenek yang saya kenal adalah seorang yang sangat ramah dan penyayang. Dahulu, setiap saya pulang kampung, selaku cucu pertama, saya sangat dimanja.


Saya ingat tiap paginya ketika saya tidur disana, nenek selalu membangunkan dan bilang "Cu, semur ayamnya udah matang, mau makan?" yang tentunya akan saya jawab mau dengan semangat, karena nenek adalah orang yg saya ketahui masakan semur ayamnya paling enak dan paling saya nantikan.


Selain itu yg jadi kebiasaan saya kalau pulang kampung, nenek sering menemani saya yang dulu penakut ini untuk ke kamar mandi kalau malam.. Kenapa? Daerah rumah nenek ini bisa dibilang masih sangat desa terpencil.


Jarak antar rumah berjauhan, penerangan jalan terbilang minim ketika malam dan hanya mengandalkan cahaya dari teras rumah warga. Jarak antara jalan dengan sumber cahaya pun cukup jauh dan kurang memadai. 


Selain itu, jika di kota besar terasa kehidupan hingga larut malam, disini aktivitas penduduknya mulai sepi di jam jam 8 keatas, dan yg paling saya takutkan dari tinggal di rumah adalah wc yang terpisah dari bangunan utama.


Iya, rumah ini punya 2 wc. Wc pertama ada di dekat dapur, berupa sebuah ruangan kira kira 2x3m dengan lantai corr semen dan sebuah sumur tua yg cukup lebar ditengahnya. Sumur ini masih menggunakan katrol, setengah dari mulut sumur ini ditutup sedangkan setengahnya lagi terbuka.


Saya kurang tau dalamnya berapa, namun saya rasa cukup dalam dan tentunya bikin merinding kalau melongo ke bawah.


Wc yang ada sumurnya ini adalah wc tua yang biasa nenek pakai untuk mengambil air guna memasak, buang air kecil, mencuci, dan lain lain.


Wc pertama ini hanya punya saluran air kecil yang mengarah ke sungai kecil di samping rumah dan tidak memiliki kloset. Kloset itu adanya di wc kedua yang posisinya terpisah dari bangunan rumah.


Posisinya ada di tengah antara rumah nenek dengan rumah Tante Meri, ukurannya kecil, hanya muat untuk sebuah kloset, keran air dan sebuah ember untuk cebok. Dahulu kami biasa buang hajat di sungai kecil itu, namun karena ada rezeki, ibu berinisiatif membuat wc tersebut yang bisa dipakai oleh nenek maupun keluarga tante Meri. 


Jarak antara bangunan utama dengan wc ini kira kira sekitar 5 meter dari pintu keluar dapur. Tapi tetap saja, kalau malam, saya takut untuk keluar kesana dan biasanya nenek lah yang saya bangunkan dan minta untuk ditemani.


Oh iya, kalau pulang kampung, saya selalu tidur di kamar nenek karena kamarnya paling luas dan menurut saya paling nyaman. Ini mungkin karena atap kamar nenek yang tidak ada langit langitnya dan tembus langsung ke rangka atap seng diatas. Jadi terkesan luas dan tidak pengap.


Di usianya yg sepuh, nenek masih sering bekerja ke ladang atau mencari kayu bakar untuk memasak. Di belakang rumah kami memang langsung bertemu kaki bukit. Di bukit ini sebagian masih dibiarkan dalam wujud hutan, sedangkan sisanya sudah berganti dgn kebun kebun milik warga sekitar.


Kadang sore sekitar jam 4, nenek sering ke hutan belakang untuk mencari kayu, dan pulang menjelang maghrib. Kalau disuruh istirahat, beliau sering menolak dan bilang "kalau ibu ga kerja, badan ibu jadi sakit sakit. Jadi biarin aja, nggak berat juga" kata beliau kurang lebih.


Dimata orang kampung, nenek cukup dikenal sebagai sepuh yang bisa melakukan pengobatan "alternatif". Ya, warga di kampung ini masih lekat dengan hal hal klenik seperti ilmu kebal, ilmu santet, tenung, dan lain lain.


Sehingga banyak orang tua yang datang ke nenek untuk minta obat dan jimat, jimat untuk anak anak yg baru lahir agar tidak kena guna guna, atau obat untuk anak yang kena gangguan "disapa" leluhur. Tapi tak jarang, orang yg datang ke rumah mengadukan hal hal lain.


Dahulu yang dikenal ahli dalam pengobatan ini adalah kakek. Namun sejak beliau meninggal, neneklah yg melanjutkannya. Nenek biasanya akan mengenakan kain di kepalanya, masuk ke kamar, lalu tak lama keluar dengan membawa kunyit dan kencur untuk media pengobatan.


Saya sendiri tidak tau apa yang nenek lakukan di dalam kamar saat melakukan pengobatan itu karena pintu selalu tertutup.


Kembali ke cerita, waktu itu momennya saya sedang libur semester kuliah tiba-tiba saja diminta ibu saya untuk pulang kampung.


Kabarnya, nenek sudah beberapa hari sakit sedangkan Tante Meri kandungannya sudah besar dan kesulitan untuk mengurus nenek. Karena memang sedang tidak ada kegiatan selama libur kuliah, dan saya satu satunya cucu nenek yang sudah dewasa, sayapun menyanggupinya.


Tidak sulit bagi saya untuk pergi ke kampung seorang diri karena hal yg sama sudah pernah saya lakukan ketika lulus SMA dahulu. 


Singkat cerita, saya sudah sampai di kampung tanpa kendala apapun. 


Saya tiba sekira jam 6 sore, karena memang dari bandara ke rumah nenek memakan waktu yang cukup lama dan hanya bisa ditempuh dengan mobil travel sewaan.


Tok tok tok "Assalamualaikum, tante.. Nenek.." Ucap saya di depan pintu sambil menggeret koper saya. Lalu terdengar jawaban salam dari rumah sebelah, rumah Tante Meri


"Waalaikumsalam. Eh Rian? Udah dari tadi datangnya?" kata Tante Meri di depan pintu rumahnya.


Sayapun menghampiri Tante Meri dan salim padanya. Terlihat perut Tante Meri telah membesar dan dia harus meletakkan tangannya di pinggangnya yg terus terasa berat. 


"Engga kok tante, baru sampe. Wah bentar lagi saya punya sepupu baru nih hahaha" canda saya.


"Aamiin aamiin. Nanti baik baik sama sepupu nih, ajarin juga belajar matematika ya" Jawab tante sambil tersenyum.


"Hahaha bisa bisa tante. Nanti saya ajarin private deh, asal ada uang lesnya aja" Jawab saya. Kamipun saling tertawa untuk beberapa saat.


"Masuk aja yuk, nenek kamu di dalem, udah beberapa hari ini ga enak badan katanya. Paling sekarang lagi tidur" Ajak Tante. 


Sayapun mengiyakan dan kembali ke depan pintu rumah nenek bersama Tante Meri.


Pintu yang ternyata tidak terkunci itupun dibuka, Tante lalu menyuruh saya menaruh koper di ruang tengah dan langsung menemui nenek dahulu di kamarnya. 


Namun ketika kami ke kamar, kamar nenek kosong. Tante Meri mempercepat langkahnya menuju dapur dan nenek juga tidak ada disana.


Saya yang melihat tante Meri sibuk berjalan dgn cepat, lalu bertanya "nenek gaada tante? Kemana?". Tapi Tante tidak menjawab. Ia kini mengarah ke wc lama yg ada sumurnya. Ketika tirai penutup wc itu dibuka, nenek sedang jongkok buang air kecil sambil berpegangan pada batu-batu sumur.


"Astaghfirullahaladzim ibuuuu... Kirain tadi kemana..." Ucap Tante Meri menghela nafas panjang yang selama ini ia tahan karena panik.


"Ibu ke air(wc) Mer.. Ada apa?" Tanya nenek singkat.


"Itu, cucu nenek udah datang, si Rian, lagi libur kuliahnya jadi main kesini" ujar Tante menyembunyikan tujuan asli saya ke kampung.


"Rian? Mana?" Nenek dengan semangat bergegas menyudahi hajatnya dibantu tante yang menimba air sumur untuk menyiram sisa buang air kecil nenek.


"Assalamualaikum nek, sehat?" ujar saya sambil mencium tangan kurus nenek dan disambut dengan ciuman nenek di kening saya. "Alhamdulillah cu, begini aja nenek.. Kadang sakit, kadang sehat.." jawabnya gemetar khas orang yg sudah renta.


Tak lupa tangan nenek memijat-mijat lembut lengan dan bahu saya sembari memuji saya yg menurutnya sudah makin tampan dan dewasa.


Kamipun mengobrol banyak, ya bahasannya seputar kondisi kesehatan nenek, kuliah saya, kabar ibu dan bapak di jawa serta bahasan bahasan lainnya.


Intinya, nenek belakangan sering merasakan pusing dan pandangannya kabur. Sesekali badannya terasa panas dan kalau itu terjadi, nenek akan kesulitan bergerak karena seluruh tubuhnya sakit.


Tiba tiba saja ditengah obrolan... "Besok mau nenek buatin semur ayam? Rian mau ya?" Tawar nenek kepada saya. Jujur sebenarnya saya mau banget karena sudah kangen dengan masakan nenek, namun saya tau nenek sudah sangat kepayahan untuk berjalan.


Tadi saja dari wc ke ruang tengah, nenek berjalan sedikit demi sedikit dan dipapah oleh saya dan tante Meri.


"Gausah nek, nenek istirahat dulu aja, nanti kalau udah sembuh, baru masakin buat Rian ya. Rian liburannya lama kok" jawab saya.


"Iya, nanti Rian makan semur Meri dulu aja bu, resepnya sama aja kan" kata Tante Meri menimpali. Saya tersenyum dan mengiyakan walaupun saya tau rasanya benar benar jauh berbeda.


Jam 9 malam nenek kembali ke kamarnya. Kondisi kamar nenek masih sama dengan yang terakhir saya tempati. Sebuah ranjang ukuran dua orang dengan dipan besi yang berdenyit kalau dinaiki serta langit langit yang loss sampai ke rangka atap seng.


Didalamnya ada sebuah lemari besar dengan kaca setengah badan dan tumpukan kardus serta koper. Tak lupa lampu berwarna orange temaram yang menyinari kamar itu dengan alakadarnya.


Saya memilih tidur di ruang tengah beralaskan kasur kapuk tipis dan bantal dari kamar nenek. Sebelum tidur, semua lampu saya matikan dan hanya menyisakan satu buah lampu petromax di tengah ruangan.


Suasana sangat sunyi di desa itu. Saya bisa mendengar suara jangkrik dan kodok yang saling bersautan, sesekali suara anjing dan lenguhan sapi milik tetangga terdengar samar samar dari kejauhan.


"NYRIITTT" tiba tiba saja saya mendengar suara kasur nenek. Saya duduk terbangun dan menunggu nenek keluar dari kamar. Namun bayangan nenek tak kunjung nampak. Sayapun kembali merebahkan badan saya, mungkin suara itu berasal dari nenek yang menggerakan badan ketika tidur.


Tak lama,.. "NYRIIIT NYRIIITTT".. Suara itu kembali saya dengar dari arah dalam kamar nenek. Sayapun bangun dan kembali melihat ke arah kamar nenek. Tapi kali ini, suara pintu kayu kamar terbuka terdengar dan nenek berjalan tertatih tatih keluar pelan sekali.


Sayapun menghampiri nenek yang memegangi tembok sambil berjalan dan bertanya "Nenek mau ke wc ya? Tunggu ya rian nyalain lampu dulu". Sayapun berjalan kedepan dan menyalakan lampu dapur yang posisi saklarnya ada sekitar 5 langkah di depan nenek.


Saya berjalan mendahului nenek dan menekan kedua saklar itu hingga lampu menyala, namun ketika saya berbalik badan, nenek sudah tidak ada di belakang saya..


Kalimat istighfar spontan terucap dari mulut saya. Nenek yang jalannya sudah lambat dan tertatih itu gak mungkin sudah kembali ke kamar. Sedangkan saya baru saja menyalakan lampu tepat di depan beliau. Saya melongo ke arah dapur dan tidak ada orang.


Lalu saya kembali ke ruang tengah dan memberanikan diri mengintip ke kamar nenek. Posisinya pintu kamar itu sudah sedikit terbuka seukuran lebar tubuh orang lewat, namun saya dapati nenek masih terlelap di atas kasurnya. Lengkap dengan selimut yang masih rapih.


Saya terdiam dan shock cukup lama.. Tadi itu saya yakin banget nenek jalan keluar kamar.. dan selisihnya hanya beberapa detik saja sampai saya berbalik, tapi nenek sudah menghilang begitu saja. Saya khawatir itu hanya tiruan nenek..


Saya beberapa kali memang sempat berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata, ini bermula saat saya minta dibukakan mata bathin ke salah satu teman saya, dan karena terlalu lama, entah kenapa pengelihatan ini tidak bisa tertutup lagi.


Namun saya memilih diam dan kembali tidur.. Saya meringkuk dan menaruh kedua jari di telinga saya. Bukan karena saya kedinginan atau sebagainya. Namun, malam itu.. dari arah sumur terdengar suara gebyar gebyur orang mandi sepanjang malam.


Malam itu saya lalui dengan hati yang berdebar. Namun beruntung, saya akhirnya bisa tidur beberapa waktu kemudian dengan lelap.


Pagi harinya, saya mencoba menyimpan apa yang alami tadi malam seorang diri tanpa memberitahu nenek.


Saya terbangun menjelang subuh dan tak lupa membangunkan nenek yg memang sudah menitip pesan untuk dibangunkan saat adzan. 


"Nek, nek, udah subuh.." kata saya pelan pelan ke nenek. 


Nenek pun membuka matanya, tersenyum ke saya dan saya papah ke wc untuk mengambil air wudhu.


Nenek menjadi makmum saya dan kami sholat berdua. Tentu saja nenek sholat dengan posisi duduk dikarenakan sudah tidak kuat terlalu lama berdiri.


Seusai sholat, saya bertanya ke nenek "nenek masih ngerasa sakit? Mau dipijitin?" tawar saya.


"Engga usah yan (Rian). Nenek biasa sakit sakit udah tua" jawab nenek.


"Iya gapapa nek, nanti kalau ada sakit atau nenek kerasa apa apa, bilang Rian aja ya" kata saya meyakinkan nenek sambil mau kembali menghadap kiblat melanjutkan doa. 


Namun tiba tiba nenek bilang..


"Yan, kamu mau bantu nenek?" Tanya nenek lembut.


"Ya? Bantu apa nek?" Saya bertanya balik


"Kamu yang jadi penerusnya ya yan. Nenek maunya kamu yang lanjutkan ini" jawab nenek.


"Lanjutin apa nek maksudnya?" Tanya saya benar benar tidak paham maksud nenek.


"Lanjutkan apa yang kakek dulu punya, Rian mau ya. Nenek kasih dia untuk Rian.." kata nenek yang tanpa aba aba sudah menyentuhkan telapak tangannya ke punggung tangan saya. Ada sensasi yang aneh disini tapi saya gatau apa.


"Itu punya kakekmu dulu, nenek udah terlalu tua, kamu saja yang lanjutkan.." jelas nenek lagi yang makin membuat saya bingung.


Saya terus bertanya apa maksudnya tapi nenek enggan menjawab dan hanya tersenyum.


***


Hari itu kami lalui dengan aktivitas seperti biasa. Saya bantu nenek menimba air, memanaskannya untuk air minum, dan menyapu rumah.


Sementara nenek duduk di teras depan memandang ke arah jalan yang sesekali dilewati para peladang yg akan naik ke bukit belakang.


Sesekali para peladang itu menyapa nenek dgn lambaian tangan dan berseru "ngapain bengong aja tuh iyak? (Iyak = nenek)". Nenek sambil tersenyum kemudian menyahut "ngga ada, mau ngapain lagi udah ada cucu yang urus rumah" kata nenek bangga. Saya di dalam hanya tersenyum saja.


***


Sudah hampir seminggu saya berada di kampung. Alhamdulillah gangguan mereka hanya terjadi di hari pertama saja. Saya akhirnya menyinggung sedikit perihal apa yang saya liat ke Tante Meri.


Menurut beliau itu adalah leluhur saya yang ingin bertemu cucunya karena saya udah lama ga ke kampung. Allahu a'lam karena yang saya tau, orang yang sudah meninggal sudah tidak ada urusan lagi di dunia.


Suatu malam, saya lupa di hari keberapa, tiba tiba saja rumah nenek terasa begitu pengap di malam hari. Saya menyobek salah satu kardus di dapur untuk saya jadikan kipas manual untuk setidaknya mengurangi hawa panas. 


Sekira jam 1 atau 2 dini hari, tiba tiba saja saya dibuat kaget dengan suara geraman harimau.. Suara nafas dan geramannya persis seperti yang saya dengar di acara televisi. Suara itu berasal dari luar dan terkesan berputar putar mengitari rumah.


Karena sesekali arahnya saya dengar dari sisi kanan, lalu dari arah depan saya, lalu tak lama dari arah belakang..begitu terus selama beberapa waktu.


Saya yang tau kalau rumah nenek memang bersebelahan dengan kebun, tentunya berfikir bahwa ada harimau liar yang sedang turun ke desa. Saya memilih diam dan tidak berani mengecek ke luar. Mau itu harimau sungguhan atau bukan, keduanya sama bahayanya menurut saya.


Saya memilih tetap menutup mata, berusaha fokus agar ketiduran lagi, tapi telinga saya seakan menolak itu dan justru mendengar lebih seksama posisi suara harimau itu berasal.


Lalu tiba tiba.. "DUGGGG!!! PRAAAANGGGGG!!!!!!!!!!" suara sesuatu yang menabrak atap rumah dan pecah.


Dari suaranya saya bisa memperkirakan benda ini besar dan berat. Disaat yang bersamaan, suara harimau tadi menghilang. Saya bergegas keluar dan melihat atap dengan center yang saya pegang namun tidak menemukan apapun. Saya lalu masuk lagi karena tidak betah lama-lama diluar.


Saya kemudian kembali ke atas kasur tipis saya di ruang tengah. Waktu sudah menunjukkan jam 4 dini hari, 1 jam lagi menuju shubuh. 


Saya sudah mencoba membolak balikkan badan dan memaksa untuk tidur namun hasilnya nihil sampai akhirnya samar samar saya mendengar suara orang mengaji di mushola sebagai tanda waktu sholat shubuh segera tiba.


Akhirnya sayapun membatalkan rencana tidur saya, bangun dan membangunkan nenek seperti biasa,"Nek, nek, bangun, shubuh.." Kata saya sambil menggoyang goyangkan lembut lengan nenek. 


Nenek kemudian membuka matanya. Namun pandangannya kosong. "Udah subuh nek, yuk sholat dulu" Kata saya


"aa..aa...a...mmm" nenek berusaha berbicara namun tertahan, bibirnya sedikit miring ke kanan dan pandangannya nanar ke arah saya.


"Nek???!? Kenapa???" Ucap saya panik.


"Aaam.. Aa... Aa.." nenek hanya mengeluarkan suara seperti itu.


Saya yang panik bergegas ke rumah Tante Meri. Saya tidak ingat itu masih sangat pagi dan apakah orang rumah sudah bangun atau belum, tapi saya menggedor pintu dgn cukup keras.


"TANTE MERI! TANTE MERI! TANTEEE! OM! OM!!!!" Panggil saya dengan setengah berteriak.


Tante Meri lalu membukakan pintu dan ikut panik melihat saya yang datang dengan linangan air mata dan keringat yang mengucur deras.


"Kamu kenapa Rian? Ada apa??" tanya tante Meri yg dibelakangnya sudah ada Om Zul, suami tante Meri yang sepertinya terbangun karena gedoran pintu saya.


"Tanteee! Nenek Tan! Sini!" kata saya sambil memegang tangan Tante Meri dan membawanya ke kamar nenek.


Kondisi nenek sama seperti ketika saya tinggal terakhir. Kami sempat membawa nenek ke dokter terdekat, namun vonisnya cukup membuat kami terguncang. Sejak hari itu, tubuh nenek dinyatakan lumpuh.


Saya menghubungi ibu dengan sangat hati hati. Saya coba menyampaikan apa yang terjadi pada nenek kepada ibu dengan bahasa yang disamarkan. Saya tidak mau membuat ibu di Jawa panik atau pingsan, dan atas persetujuan dari Tante Meri juga, kami tidak menyampaikan kelumpuhan nenek.


Saya hanya mengatakan bahwa nenek tadi diperiksa ke rumah sakit dan harus istirahat total di kasur. Ibu diujung telepon hanya mengiyakan saja dan meminta saya menemani nenek terus.


Nenek kini hanya bisa berbaring saja di kasur. Matanya melihat kesana kemari, mulutnya menganga dengan sedikit condong ke kiri. Tangan kirinya kaku menyilang ke arah pusar dan tangan kanan merapat ke samping pinggang.


Kini Nenek hanya bisa berucap "a.. Aa.. Am.. Amm.." dengan pandangan yang tak tentu arah.


Malam itu saya, tante Meri dan Om Zul tidur di rumah nenek. Saya dan Om tidur di luar, sedangkan tante Meri di dalam kamar, seranjang dengan nenek.


Daritadi siang raut muka kesedihan terus terlihat dari tante Meri yang terus menitikkan air mata. Bahkan sampai malam begini, suara tangis itu terus terdengar dari arah dalam kamar nenek.


Jelang jam 2 dinihari, suara tangis sesegukan itu masih juga belum berhenti. Om Zul kemudian berinisiatif masuk ke dalam kamar untuk menenangkan Tante Meri. 


Saya yang juga belum tidur saat itu melihat ke arah Om Zul yang melongo ke dalam kamar dari balik tirai.


Tapi tiba tiba saja..

"Astaghfirullah... Astaghfirullah.." Om Zul jalan mundur dengan mata yang terbelalak seperti habis melihat sesuatu yg amat menyeramkan.


"Kenapa om?" tanya saya yang kebingungan melihat tindakan om Zul.


"Rian... Coba kamu kesini" pinta Om Zul.


Sayapun berjalan ke arah om Zul dan setelah saya mendekat, om Zul membisiki saya untuk melihat ke dalam.. "Coba kamu lihat ke dalam.. Itu siapa yang duduk dibelakang Tantemu..." ujar Om Zul.


Saya sempat tersentak kaget namun juga diliputi rasa penasaran. Saya masuk ke dalam tirai dan membuka sedikit pintu kayu itu untuk setidaknya bisa mengintip dengan sebelah wajah saya. Dan pemandangan yang saya lihat benar benar membuat jantung saya serasa berhenti.


Di kamar itu, ada 3 orang yang berada di atas kasur nenek. Yang pertama tentu saja nenek dengan selimutnya, Tante Meri yang tidur menyamping menghadap nenek dan satu lagi sosok wanita yang berambut putih panjang duduk di ujung kasur tepat berada di belakang Tante Meri. Dan yang membuat saya ketakutan adalah.. Tante Meri sudah tertidur saat itu dan suara tangisan yg kami dengar ini berasal dari sosok itu. 


Saya ingin berteriak saat itu namun rasa takut saya membuat nafas saya sesak dan tidak ada suara yang keluar. Om Zul menatap saya tajam.


"Ada kan?... Itu siapa.." Tanya Om Zul. Saya tidak bisa menjawab. Tatapan saya pun kosong.


"Rian baca doa berulang ulang. Ayat kursi, alfatihah, apa aja yang kamu hafal.. Terus baca itu ya" Kata Om Zul.


Om Zul lalu membaca doa doa juga. Saya mendengarnya melafadzkan sayyidul istighfar dan doa perlindungan dari makhluk. Om Zul lalu membuka pintu selebar lebarnya dan masuk dengan tenang melantunkan ayat suci alquran dalam suara pelan. Sementara saya mengikutinya di belakang.


Alhamdulillah, ketika kami masuk, sosok itu sudah menghilang entah kemana. Om Zul kemudian membangunkan Tante Meri dan memintanya untuk kembali tidur di rumah sebelah.


Tante sempat bertanya kenapa dan menolak, tapi Om Zul terus bersikeras memaksa Tante Meri untuk tidur di rumah saja. Sementara nenek akan dijaga oleh Rian (saya).


Jujur saya sendiripun masih shock dan takut. Tapi saya tau, Om Zul sedang berusaha melindungi buah hatinya di perut Tante Meri. Ia khawatir akan ada hal buruk terjadi jika Tante Meri dan kandungannya berada disini, terlebih sosok tadi berada sangat dekat dengan Tante.


Tantepun mengecup kening nenek lalu beranjak pulang. Om Zul berpesan kepada saya untuk sebisa mungkin beristighfar dan pikiran jangan kosong. Om Zul juga mengatakan untuk segera ke rumah sebelah dan kabari dia jika terjadi hal hal diluar nalar.


Sayapun mengiyakan dan om zul serta tante Meri bergegas pulang di pagi buta itu.


Kini tinggal saya dengan nenek di rumah ini. Nenek masih tertidur dengan pulasnya sementara saya sudah tidak ada pikiran untuk tidur.


Saya terus terjaga di dalam kamar nenek dengan duduk di lantai dan memandangi nenek yang tidak bisa lagi mengubah posisi tidurnya.


Karena masih lama menunggu subuh dan hasrat tidur yang sudah tidak ada, saya memutuskan membuat teh di dapur.


Saya nyalakan lampu dapur dan membuat teh dari air panas dalam termos yang memang selalu tersedia. Ketika saya sedang mengaduk gula dalam teh, tiba tiba saja..


"NYRITTTT NYRITTTTT NYRITTTTTTT NYRITTT"

suara decitan besi tempat tidur nenek berbunyi berkali kali dan cukup keras.


Saya melupakan teh saya dan langsung setengah berlari ke arah kamar. Namun ketika saya sampai, semuanya tenang. Tidak ada suara decitan, dan nenek masih dalam posisi semula.


Saya beristighfar terus menerus dalam keadaan keringat panik bercucuran.


Saya kembali ke dapur. Teh saya pun siap. Dengan masih gemetar, saya kembali ke kamar nenek. Saya bersandar ke tembok dan menatap nenek sambil menyeruput teh saya yang masih mengeluarkan uap panas.


Beberapa waktu kemudian lantunan ayat suci al quran mulai terdengar dari mushola yang berada di kejauhan. "Alhamdulillah.. Sudah fajar.." gumam saya. Bagi saya shubuh adalah "garis finish" bagi ketakutan saya.


Karena suasana shubuh itu bisa membawa ketenangan tersendiri dan menghilangkan rasa cemas sebagaimana suasana dini hari lewat tengah malam.


Saya kemudian mengambil air wudhu dengan sedikit bergegas. Lalu saya kembali ke kamar nenek. 


Di kampung saya, pantang seseorang untuk tidur tegak lurus dengan arah kiblat karena disebut "tidurnya mayat". Jadi posisi tidur selalu kepala ke arah kiblat atau kaki ke arah kiblat.


Begitu juga dengan posisi tidur nenek yg kepalanya mengarah ke kiblat. Saya menempati celah antara kasur nenek dengan tembok sebagai tempat saya sholat, jadi disebelah sisi kanan saya nenek tidur dan ujung pandangan saya bisa melihat nenek.


Saya mulai bertakbir dan sengaja menjahrkan (mengeraskan) bacaan quran saya. Suasananya begitu berbeda. Terasa sangat senyap dan dingin. Saya meneruskan bacaan saya hingga akhir surat pendek.


"Allahu Akbar" saya bertakbir untuk rukuk


"Sami' Allahu liman hamidah.."


Ketika saya i'tidal, saya melihat diujung mata kanan saya nenek sedang membuka mulutnya lebar lebar ke arah saya. Saya ingin menoleh tapi sedang berada di tengah sholat. Tapi saya bisa lihat mulut nenek yang membentuk O lebar itu dan nenek juga menggeleng gelengkan kepalanya.


Iya, besi ranjang itu juga berbunyi "NYRITTT NYRITTT NYRITTTT" seperti yang saya dengar kemarin.


Entah kenapa saya tidak mampu menengok atau menghentikan sholat saya. Seperti ada bisikan bahwa saya jangan sampai menghentikan sholat saya dan terpengaruh pada gangguan itu.


Saya meneruskan sholat saya dengan gemetar. Sepanjang sholat kepala nenek terus menghadap saya dengan mulut yg terbuka lebar walaupun saya tidak melihatnya dengan jelas. Tubuh saya gemetar. Air mata saya mulai berlinang karena ketakutan.


Saya membatin dalam hati. Ingin sekali saya membatalkan sholat saya dan menengok ke nenek, namun saya tahan itu dan menganggapnya sebagai godaan dalam sholat. Sholat subuhpun terus saya lanjutkan hingga sampai di tahiyat akhir.


Tepat disaat saya mengucapkan salam, "assalamualaikum" sambil menoleh ke kanan, suara decitan ranjang nenek terhenti. 


Saya lalu menyegerakan mengucapkan salam ke kiri dan bergegas berdiri untuk melihat ke arah nenek.


Anehnya, posisi nenek tidak berubah dan beliau masih tertidur lelap dengan kondisi normal...


****


Menjelang siang, saya mengurusi nenek, mulai menyuapi makan dan dengan dibantu Tante Meri, saya memandikan nenek walau hanya menggunakan lap basah. Tangan nenek kaku dan pandangannya nanar kepada kami yang sedang membersihkan tubuhnya.


Sesekali dari ujung mata nenek nampak air mata yang menggenang seperti menahan sedih dan seperti ada yg mau disampaikan, namun karena mulut nenekpun sudah tidak mampu bergerak normal, suara yg dikeluarkan hanya "aaa.. Aa.. Aamm" saja tanpa kami tau apa maksudnya.


Kami sesekali mengajak nenek mengobrol walaupun tau nenek tidak bisa menjawab.


Salah satu hal yang saya sadari setelah beberapa waktu berlalu sejak nenek lumpuh, tubuh nenek kian kurus bagaikan tulang yang dibalut kulit. Urat urat di tangannya semakin terlihat menebal.


Daging di betisn dan lengannya pun seakan tidak ada lagi. Namun berbanding terbalik dengan anggota tubuh lainnya, perut nenek justru kian membesar setiap harinya seperti orang busung lapar.


Eksresi (buang air) nenek juga tidak lancar dan saya khawatir perutnya membesar karena menampung kotoran dan makanan yang tidak tercerna.


***


Setiap malamnya, saya lah yang selalu menemani nenek. Saya juga sudah pindah tidur ke dalam kamar nenek walaupun tetap di lantai menggunakan kasur tipis dan bantal. Sesekali memang ada gangguan yang saya alami, namun saya anggap angin lalu saja karena wajar rumah nenek ini adalah rumah turun temurun yang sudah sangat tua. 



Tapi ada satu momen yang cukup membuat saya merinding setiap mengingatnya.. dan ini berhubungan dengan wc "outdoor" yang saya bahas di awal cerita ini.


Suatu malam, kalau tidak salah Kamis malam, saya yang sedang menjaga nenek tiba tiba saja sakit perut. Kemungkinan karena masuk angin disebabkan angin malam yg dingin akibat hujan deras hari itu.


Sayapun beranjak bangun, tak lupa berbicara dengan nenek yang sedang tidur untuk meminta izin ke toilet dulu untuk buang air.


"Nek, rian tinggal bentar ya, mau ke wc dulu.." kata saya pelan sambil memegang tangan nenek.


Saya pun keluar kamar, menyalakan lampu dapur sekaligus lampu wc outdoor itu. Wc ini memiliki satu lampu bohlam kecil berwarna putih dgn watt rendah yg saklarnya ada di dalam rumah, tepatnya bagian dapur. Dahulu, tiap saya buang air begini pasti minta ditemani nenek.


Sayapun berjalan melalui pintu belakang yang ada di dapur dan masuk ke wc tersebut. Ketika ditengah "urusan" saya, ada sekelebat bayangan yg lewat di depan bangunan wc. Ini saya ketahui karena pintu bagian atas terbuat dari kaca yg tembus cahaya, tadi cahaya dari arah lampu belakang tertutup oleh sesuatu beberapa saat yg menandakan ada "benda" yang lewat.


Karena masih nanggung, saya memilih meneruskan urusan saya yg masih setengah jalan. Tapi lagi lagi gangguan untuk saya yg lagi buang air itu datang. 


Kali ini, pintu wc diketuk tiga kali "tok.. Tok.. Tok.."


"Yaa? sebentar, ada Rian" kata saya.


"Tok.. Tok.. Tok.."


"Ya Tante Meri?  Om Zul?" tanya saya


"...." hening.


"Rian di dalem. Bentar ya" kata saya lagi.


"...Cucu, udahan ke airnya?..."

DEG! Jantung saya rasanya ngilu sekali. Ya.. Itu suara nenek!


Saya yang sedang dalam posisi jongkok tiba tiba aja tersentak kaget. GAK MUNGKIN KAN NENEK ADA DI LUAR SEKARANG NUNGGUIN SAYA DI DALAM WC?!!


".. N.. Nenek?..." Tanya saya gemetar mencoba berkomunikasi dengan sesuatu yg ada di luar yg entah siapa, atau "apa" itu


"..Rian udah ke airnya?.. Ayo, nenek temani lagi ke bilik..." kata suara yang sangat terdengar seperti nenek.


Saya menangis. Bibir saya gemetar. Saya gatau apa yg harus saya lakukan. Suaranya, intonasinya, bahasanya... Ini persis seperti yang nenek biasa ucapkan waktu saya minta ditemani ke wc dahulu, tapi saya tau.. RIAN, NENEK GAK MUNGKIN ADA DI LUAR SEKARANG! ITU BUKAN NENEK!


"tok... Tok.. Tok.." Suara ketukan itu kembali terdengar.


"Cucu nenek... Udah di airnya?.." Ujar suara itu lirih dari balik pintu.


"N.. En...nanti Rian bisa sendiri...".. jawab saya memberanikan diri walaupun masih dengan gigi yang gemetar.


"Tok.."


"Tok.."


"Tok..." 


Suara ketukan itu kini berpindah pindah. Dan lebih lambat temponya.. Tidak, bukan ke sisi kanan kiri, tapi ke arah atap wc ini.


Ketukannya terus naik dan naik, sementara di atas, ada sebuah atap yg menggunakan bahan tembus pandang yg dipakai untuk masuknya cahaya utk penerangan wc di siang hari. Dan seketika saya sadar, ini bukan suara ketukan yg berpindah.. Tapi sosok diluar sana sedang memanjat wc ini.


Jantung saya berdebar kencang. Keinginan saya untuk meneruskan urusan saya sudah hilang. Saya terjebak diantara dua pilihan. Tetap diam meneruskan urusan saya dan tidak memandang ke atas, atau menyudahi saja aktivitas saya dan lari keluar, masuk ke rumah.


Ketika suara ketukan itu sudah hampir tiba di bagian transparan, tiba-tiba saja dari arah luar terdengar auman seekor harimau. Suaranya langsung mengingatkan saya pada suara yg sama yg saya dengarkan sebelum suara jatuh dan pecahnya benda berat di atap rumah tepat sebelum nenek lumpuh.


"AAARRGGHHHMMM" Harimau itu menggeram dengan cukup kuat. Hembusan nafasnya bisa saya dengar, sepertinya jaraknya cukup dekat dari posisi saya. Saya kembali diam. Dalam hati saya berpikir bahwa saya beruntung tidak berlari keluar tadi dan memilih bertahan.


Suara harimau itu terdengar mengelilingi wc tempat saya buang hajat. Namun saya sadar disaat yg sama, suara ketukan tadi hilang.


Setelah beberapa waktu, baik suara harimau dan nenek tadipun hilang. Saya mau tidak mau harus keluar dikarenakan kaki saya sudah kram akibat berjongkok terlalu lama.


Ketika membuka pintu, sekilas saya melihat ada seseorang yang berjalan di dapur menuju arah wc bersumur.


Saya mempercepat langkah saya namun ketika saya melihat kesana, wc sumur itu kosong dan tidak ada tanda-tanda habis dipakai orang.


Sekembalinya ke kamar, ada perasaan rindu yang amat sangat ketika saya melihat nenek yg sudah terbaring dalam kelumpuhannya.


Saya seperti kembali membuka memori indah kebersamaan saya di masa lalu dengan nenek..


Di dalam benak saya, saya mengingat lagi saat saat saya membantu beliau memasak di dapur, hingga sekedar menemani saya di luar pintu ketika saya ingin buang air kala dini hari sembari mengajak saya mengobrol agar tidak kesepian dan takut..


Melihat beliau kini terbaring diam dan tidak bisa menjawab ucapan saya, membuat saya sangat takut akan kehilangan beliau selamanya.. Hari itu saya menangis disisi nenek sambil berbisik..


"nenek, nenek bisa sembuh ya.. Nenek janji mau masakin Rian semur ayam lagi. Nenek harus bisa, nanti Rian bantu masaknya pokoknya nenek harus bisa sembuh.." ucap saya disisi nenek sambil menitikkan air mata.


*****


Di malam yang lain, saya tidur seperti biasa. Cahaya kamar hanya berasal dari sebuah lampu bohlam kecil yang berwarna kekuningan yang berada tepat diatas ranjang nenek.


Posisi saya memunggungi nenek waktu itu dan saya sudah dalam keadaan setengah sadar dikarenakan mengantuk tapi nyamuk-nyamuk sialan itu terus menerus lewat di daun telinga saya hingga membuat saya harus sesekali menepuknya menggunakan tangan.


Malam kian larut dan saya ga tau jam berapa, tiba-tiba saja ranjang nenek berdecit lagi.. Tidak, lebih tepatnya seperti bergeser karena saya bisa mendengar posisi decitan ini berpindah.. Saya ingin membalik badan, tapi badan saya tidak bisa di gerakkan..


Lalu dari arah belakang, terdengar suara nenek yang bicara..


"Rian mau semur ayam nenek?... Ya?... Ya?... Ya?..." ujar suara itu di belakang punggung saya.


"Allahu laa illaha ilallah.." Bisik saya lirih karena ketakutan.


Saya memulai membaca ayat kursi dengan gemetar dan tubuh yg tidak bisa digerakan.


"Rian.. mau.. semur.. ayam.. neneeek.. Ya.. Ya... Ya.."


Saya terus mencoba melawan untuk bisa bergerak namun saya benar benar kaku. Sementara suara itu seakan mendekat dan terus mendekat...


"Rian... mau... semur ayam nenek... Yaaaaa" suara itu terdengar sudah sangat dekat di belakang punggung saya. Lalu suara itu seketika diam... 


tapi baru saja saya mau menghela nafas lega..


"RIAAAANNN!!!! MAKAN SEMUR AYAM NENEK!!! MAAAKAAAANNNNN RIIAAAAAAAANNNNNNNNNNN!!!"


Suara wanita itu berteriak seperti tepat di telinga saya dengan sangat keras. Saya berteriak balik dan saat itu juga tubuh saya bisa bergerak.


Saya menoleh ke belakang dan saya dapati makhluk hitam sedang bersujud diatas perut nenek... Atau bukan bersujud, tapi menggerogoti perut nenek. Sementara nenek tengah menganga seperti kesakitan dengan kepala mendongak keatas.


Saya tidak tau itu makhluk apa dan apa yang mesti saya lakukan.. tapi dengan kembalinya tenaga saya, saya memilih segera lari keluar, meninggalkan nenek dengan makhluk itu dan suara decitan ranjang yang kian keras. Pada pagi buta itu, saya kembali menggedor gedor rumah Tante Meri.


"OM ZUL! OM ZUL!! BUKA OM! OOMMM" kata saya sambil memukul-mukul pintu dengan telapak tangan saya dengan sangat cepat. Terdengar suara langkah cepat di dalam mengarah ke pintu. Pintu pun terbuka dan Om Zul seperti langsung tau apa yang terjadi.


Tanpa bertanya apapun, ia langsung pergi ke rumah nenek dan masuk ke kamar.


Di dalam kamar, kami mendapati nenek tubuhnya menegang seperti ditarik dari atas dan bawah. Tubuhnya melengkung ke atas dan terhentak hentak dgn keras ke kasur berkali kali.


Nenek nampak sangat kesakitan. Om Zul segera memegangi nenek dan mencoba membopongnya. Namun ketika saya ingin membantu, mata saya teralihkan dengan "pemandangan" yang ada di atap ruangan ini..


Seperti saya bilang di awal, langit-langit kamar nenek ini plong hingga rangka  atap seng. Saat itu, di kayu kayu rangka atap itu saya melihat 2 sosok pocong berdiri diam disana. Wajah keduanya total hitam pekat dengan kain kafan kusut kecoklatan seperti bekas darah kering dan tanah...


Keduanya diam menatap ke bawah seperti menonton apa yag terjadi pada nenek. Entah darimana asalnya, saya juga mencium bau amis dan busuk yang menusuk hidung hingga membuat mual..


"Ibu... ibu sadar bu, ibu!" Kata Om Zul sambil memeluk nenek yang badannya terlihat kian mengeras dan mulutnya terbuka lebar dengan bola mata berputar kearah atas. Suaranya terdengar seperti orang berkumur-kumur dengan air ludahnya sendiri.


Badan nenek lalu dipangkukan ke paha om Zul. Kondisi nenek masih melengkung seperti orang posisi kayang namun menggunakan kepala dan tumit sebagai tumpuan tubuhnya..


Om Zul kemudian membaca sesuatu sambil tangan om Zul berada di kening nenek. Nenek masih dalam keadaan seperti sebelumnya.


"Rian, pergi ke rumah sebelah! (rumah Tante Meri) bangunkan tantemu, suruh kesini..." Perintah Om Zul.


Saya yang daritadi sudah bercucuran air mata karena shock dan ketakutan melihat keadaan nenek dan 2 sosok pocong diatas butuh beberapa waktu untuk mencerna perintah itu sampai akhirnya saya bergerak.


Saya masuk ke rumah Tante yg sudah tidak terkunci dan mengetuk pintu kamar tante Meri dengan pelan. Saya atur nafas saya setenang mungkin. Ketika pintu terbuka, tampak tante Meri yang sepertinya habis menangis.


 "Tan.. Disuruh om ke sebelah.." Ujar saya.


"Iya,.." Jawab Tante singkat


Tante Meri kemudian mengunci rumahnya dan bersama saya pergi ke rumah nenek. Saya memegangi tante Meri berjalan ke kamar nenek. Hawa rumah itu terasa benar benar asing buat saya.


Suasananya terasa pengap dan panas seperti ada banyak orang berkerumul di rumah tersebut. Ketika saya kembali, nenek sudah dalam posisi terbaring lagi dengan selimutnya di kasur. Disisi nenek, Om Zul masih terduduk dengan jarinya yg bergerak-gerak menghitung dzikir..


Matanya terpejam dan baru menoleh saat saya mengucapkan salam dan mendekat bersama tante Meri di samping saya.


"Pintu rumah udah dikunci Mer?" tanya Om Zul


"Sudah bang.." Jawab tante meri.


"Kamu kesini. Pegang tangan ibumu pake dua tangan kamu. Rian, bantu om ya, tutup pintu kamar, terus kamu duduk di depannya, dari dalem aja.. Kamu baca doa dan ayat ayat alquran yang kamu hapal.." perintah Om Zul.


Tante Meri pun naik ke atas kasur dan menggenggam kedua tangan nenek. Sementara saya berjalan ke arah pintu, menutupnya, lalu  duduk bersila di depannya. 


"Udah bisa dimulai Rian?.." Tanya om Zul kepada saya.


"Hm'mh" Jawab saya sambil mengangguk.


"Usahakan pikiranmu jangan kosong.. Jangan putus bacaannya. Kalau nanti ada sesuatu yang kamu dengar dan lihat, jangan sampai konsentrasimu buyar.. Kita saling menjaga disini, bismillah" Jelas om Zul.


Saya sudah bersiap dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.


Lalu Om Zul mulai melantunkan ayat suci Al Quran dengan suara keras. Sementara saya mulai membaca ayat kursi dengan suara lirih sambil tetap bersila di depan pintu. Di atas kasur, tante Meri mulai sesegukan karena menangis.


Awalnya semua berlangsung begitu saja tanpa ada gangguan. Om zul menggerakan telapak tangannya dari kepala nenek sampai ke kaki secara berulang ulang, lalu seperti  melemparkan sesuatu dari dalam tubuh nenek. 


Namun setelah sekitar 15 menit berlalu...


"Hahaha... hihihi..." dari arah luar, tepatnya ruang tengah, ada suara anak kecil yang tertawa. Saya tersentak kaget tapi tetap berusaha meneruskan bacaan saya. 


"Cepat ooom hihihi cepaaat... Hihihihihi" Kata suara itu.


Suara anak kecil itu mendekat dan menjauh, lalu kembali mendekat.. Saya rasa, suara ini seperti bolak balik di ruang tengah ke dapur lalu kembali lagi. Bahkan ketika saya memejamkan mata saya agar lebih berkonsentrasi, saya bisa mendengar langkah kaki "anak" itu diluar sana.


"Hihihihi hihihihi...."


"..."


DOR! DOR! DOR DOR!!!!


Tiba tiba saja pintu di hadapan saya dipukul dengan sangat keras. Saya terperanjat dan memundurkan badan saya dari pintu kayu itu.


"Hihihihihi... Ayo ooom cepaaaat cepaaaat"


DOR DOR DOR DOR DOR DOR!!!


suara anak itu makin menggila. Sekarang posisinya saya yakin ada dibalik pintu dan sedang memukul mukul pintu ini. Saya menoleh ke belakang dan om Zul masih di posisinya. Masih dengan tenang membaca quran bersama tante Meri..


Sampai saya sadar, di belakang punggung tante Meri sudah ada sosok lain yang hadir..


Kali ini adalah sosok yg sama dengan yg saya lihat duduk di ujung kasur waktu itu. Sosok berambut putih panjang yg kusut. Sosok itu menggerak gerakan kepalanya dengan patah patah.


Rambutnya yg putih dan megar itu nampak bergerak gerak. Tapi sekali lagi, ia memunggungi arah pandang saya sehingga saya tidak bisa melihat wajahnya. Saya lalu memalingkan muka dan kembali coba berkonsentrasi dengan tugas saya menjaga pintu.


Suara anak kecil itu sudah menghilang. Namun sekarang diluar terdengar seperti pasar.. Suaranya ramai sekali dan berasal dari banyak sumber.. Riuh dan bising..


Mereka semua terdengar bergumam dengan suara berat dan seperti mengobrol namun saya tidak bisa mendengarkan satupun kata dari banyaknya suara itu. Tak sampai disana, saya juga mendengar pintu diketuk lagi dan suara orang mandi.


Sangat ramai sekali.. Berbanding terbalik dari keadaan di malam malam biasa dimana saya bisa mendengarkan bunyi jangkrik dan kodok di sawah.


Saya paksa memejamkan mata. Menunduk dengan air mata serta keringat yg terus mengalir...


Namun pikiran saya sulit berkonsentrasi. Bacaan ayat suci quran saya kacau... Lalu saya coba menyelingi bacaan quran saya dengan istighfar..


"Astaghfirullahaladzim...

Astaghfirullahaladzim..

Astaghfirullah..... "


"HAL ADZIM... HAL ADZIM... HAL ADZIM..."


Suara itu berasal dari arah belakang saya.. Saya menoleh ke belakang dan saya dapati sosok wanita tadi sudah berada di depan cermin kamar nenek..


Matanya tertuju kepada saya dan dia "menyelesaikan" bacaan istighfar saya dengan terus menerus berkata "hal adzim hal adzim hal adzim" dengan gigi yang gemeretak. Sekarang saya bisa lihat wajahnya.. Sosok wanita tua dengan mulut seperti moncong kambing..


Nenek yang tadi diam tiba tiba saja menjerit. "Arrrghhhhh!!! Hnggghhh" Tubuhnya kembali menegang dan kejang kejang. Mulutnya terbuka lebar dengan mata berputar ke atas. Tante Meri sontak menjerit "Ibuuuuu!!!!" kemudian menangis sejadi jadinya tanpa melepaskan genggaman tangannya.


"Rian! Jangan berhenti!" Tiba tiba saja om Zul meneriaki saya yg memang sesaat berhenti berdzikir dan membaca bacaan quran karena was was dan kaget terhadap banyaknya sosok yang bermunculan..


Lantunan quran dari Om Zul makin mengeras. Nenek menghembuskan nafas nafas besar setiap kali Om Zul menarik sesuatu dari kepala nenek.


Kira kira 2 jam kami melakukan hal ini dan hampir setengah jam nenek dalam kondisi seperti itu sebelum akhirnya kembali lemas dan tertidur.


Tidurnya nenek bersamaan dengan hilangnya suara suara diluar sana dan sosok wanita tua tadi...


Tante Meri tak henti hentinya menangis sepanjang malam itu. Sesekali ia sesegukan dan meraung raung..


"Bang.. Ibu kenapa bang.. Ibu.. Ibu kesakitan bang.." rengek Tante Meri ke Om Zul.


"Yang sabar Mer.. InsyaAllah ibu nanti ga sakit lagi.." Kata om Zul menenangkan.


Saya hanya bisa terdiam di depan pintu. Saya juga ingin menangis, tapi disisi lain saya juga shock dan tidak percaya atas apa yg baru saya alami..


Stress yang luar biasa dan terlalu banyak pikiran membuat Tante Meri demam. Pagi harinya, Om Zul dan Tante Meri izin ke saya untuk pergi ke puskesmas demi mendapatkan obat. Saya lagi lagi ditinggalkan berdua di rumah bersama nenek.


Nenek ketika siang hari bisa dikatakan normal normal saja. Nenek sadar, mau disuapi makanan halus, minum dan saya mandikan. Gangguan hanya kami rasakan intens di malam hari. Ini juga yang mungkin jd salah satu alasan om Zul tidak membawa nenek ke rumah sakit.


Saya seperti biasanya, menyapu lantai dan membersihkan dapur. Uniknya, disana saya menemukan jejak-jejak kaki anak kecil yg terjiplak dari lantai dapur sampai ke ruang tengah. Ketika saya melanjutkan, bahkan saya sadar bahwa jejak kaki kehitaman itu berada di dinding bagian atas..


Ketika saya sedang menyapu di bagian dalam antara dapur dan ruang tengah, tiba tiba saya mendengar suara ramai anak anak dari luar. Jumlahnya saya rasa banyak karena mereka cukup heboh.


Saya tidak mempedulikannya karena saya tau, memang jam segini anak anak dari warga yg tinggal di kaki bukit berangkat sekolah melewati depan rumah nenek. Tapi seketika saya menghentikan kegiatan saya saat anak anak itu mulai berseru dari jalan..


"Misi numpang lewat ya neeek...."

"Misi neeek.."

"Numpang lewat nek.."


Mereka mengucapkan begitu tepat ketika mereka lewat di depan rumah.


Saya yang sedang menyapu lalu mempercepat langkah saya keluar. Anak anak itu ternyata mengenakan sepeda dan sudah berlalu. Saya masih bisa melihat mereka sudah ada di kejauhan.


Anehnya, saya tidak menemukan pengguna jalan lain yg kemungkinan mereka sapa tadi...


Sedangkan disini, hanya terdapat rumah nenek dan tante Meri saja..


Om Zul dan Tante Meri baru pulang menjelang ashar. Tante Meri nampak pucat dikarenakan sakit dan langsung masuk ke rumahnya. Sedangkan Om Zul sempat mengantarkan Tante Meri ke dalam rumah, lalu keluar lagi dan pergi menemui saya di rumah nenek.


"Nenek gimana Rian?" tanya Om Zul.


"Ga ada aneh aneh om. Udah Rian suapin juga tadi, udah di lap lap juga. Tidur lagi kayaknya" Jawab saya.


Om Zul pun masuk ke dalam dan saya mengikuti di belakangnya. Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, Om Zul masuk ke kamar nenek.


Nenek masih tertidur setelah saya suapi makanan.


Om Zul lalu naik ke kasur, mengelus jidat sampai ke rambut nenek yang sudah jarang dan memutih. Lalu Om Zul menaruh tangannya ke punggung nenek seperti akan memeluk, tapi tak, lama dilepaskan kembali.


"Ibu gausah khawatir, ada Zul yang akan jagain Meri, anak kesayangan ibu.." Kata Om Zul dengan nada berbisik namun dengan senyum yang terlihat dipaksakan untuk menahan tangis. 


Walaupun nenek masih kondisi tidur, namun saya melihat sendiri air mata mengalir dari ujung mata nenek.


Pemandangan itu membuat saya kembali menangis, mengingat masa kecil saya yang sangat seru bersama nenek dan kakek, serta semua kenangan saya di rumah ini.


Om Zul lalu mencium lagi kening nenek, menggenggam tangan beliau dan menciumnya lagi. 


Bagaimanapun saya tau nenek adalah salah satu orang yang mendukung pernikahan om Zul dan tante Meri dahulu dan sering membangga banggakan perjuangan Om Zul.


Om Zul semasa bujangnya dulu bekerja untuk nenek dan sering menumpang makan di rumah. Kejujuran, sikap tanggung jawab serta kedekatannya dengan nenek membuat nenek yakin menjodohkan Om Zul dengan anak nenek sendiri, Meri.


Akhirnya benteng Om Zul untuk terus terlihat tegar itu goyah, Om Zul mulai menangis terisak isak layaknya anak kecil tanpa mau melepaskan tangan nenek yg ia cium..


Saya memalingkan pandangan saya. Mencoba tidak terbawa, namun kembali gagal. Ingus saya berkali kali saya tarik dan mata saya mulai sulit saya tahan untuk tidak mengeluarkan air mata.


Setelah beberapa saat, Om Zul menyeka air matanya dan melihat ke arah saya.


"Rian, ada yang mau Om tanya sama kamu.." Kata Om Zul


"Ya om? Apa?.." Tanya saya


"Sebelum ini, nenek ada pesan sesuatu atau menitipkan sesuatu ke Rian..?"


"Titipan? Seinget Rian Engga ada om.."


"Bukan, bukan barang, tapi sesuatu yang nenek kasihin ke kamu" Jelas Om Zul.


Saya terdiam sejenak. Memikirkan apa yg dimaksud Om Zul. Saya akhirnya teringat adegan itu, saat nenek menyentuh punggung tangan saya seusai sholat shubuh.


"Rian kurang yakin ini yang om maksud atau bukan, tapi waktu itu nenek pernah minta Rian untuk melanjutkan apa yang kakek punya. Nenek ga kasih apa apa, cuma nyentuh tangan Rian aja om" Jelas saya panjang lebar.


Mata om Zul kembali berlinang air mata tanpa saya tau kenapa. Om zul memeluk saya lalu mengelus kepala saya. 


"Om tau kamu bisa Rian, nenek pun juga tau itu" kata Om Zul. Kalimat itu membuat saya kembali bingung.


Dan sama seperti saat nenek waktu itu, ketika saya tanya apa maksudnya, om Zul hanya berkata "nanti kamu bakal tau Rian, ada waktunya nanti kamu bakal tau". Tidak mendapatkan jawaban yg saya mau, saya hanya bisa terdiam.


Om kembali melihat nenek. Menggengam tangannya. Lalu kembali melihat saya,


"Nenekmu sudah tidur, malam ini kamu jaga nenek sendirian lagi gapapa? Om mau jagain tantemu, demamnya tinggi dan dia kepikiran terus sama apa yang terjadi tadi malam. 


Nanti sesekali om kesini buat temenin kamu, om rencana ga tidur malam ini.." Kata Om Zul


"Gapapa om, Rian aja sudah bisa jaga nenek kok. InsyaAllah kalau gak ada yang aneh aneh, Rian bisa.." jawab saya meyakinkan Om Zul yang nampak sangat kelelahan mengurus kami semua.


"Engga.. Om tetap bangun di rumah samping. Kalau nanti nenek bangun, minta ambilkan air atau apa, kamu jangan kasih dulu ya.. Panggil om"


"Kenapa om? Rian bisa sendiri"


"Gapapa, om mau bantu kamu dan berbakti ke nenekmu juga" Jawab Om Zul.


Meskipun aneh, saya mengiyakan perintah tersebut.


Om Zul kemudian kembali ke rumah. Sedangkan saya makan di dapur dengan telor mata sapi yang saya masak sendiri. Ketika sedang makan itu, tiba tiba saja saya mencium bau semur ayam yang sangat semerbak.


Aromanya seakan memenuhi ruangan dapur ini. Saya menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber aroma itu. Saya mengira Tante Meri sedang memasak semur, tapi rasanya tidak mungkin mengingat tante Meri sedang sakit..


Setelah menyelesaikan makan dan shalat isya, saya lanjut dengan mengaji di kamar nenek. Ketika ditengah bacaan saya, aroma semur ayam itu kembali tercium. Bukan berasal dari dapur lagi, tapi kini sudah ke dalam kamar nenek.


Saya menghentikan bacaan Quran saya.. Bukan karena sudah selesai, tapi karena telinga saya menangkap suara samar samar dari arah luar.. Suara penggorengan yang beradu dengan spatula besi dari arah dapur..


Saya mendengarkannya dalam dalam. Suaranya begitu terdengar di kondisi sunyi seperti sekarang.. "SRENG.. SRENG.. SRENG.." lalu terdengar suara air yang mendidih, lagi lagi dari arah dapur.. Saya diam..


Jantung saya berdetak lebih cepat dan keringat mulai menggenang di dahi saya.


"A'udzu billahi minasy syaithoni rojim... Bismillah..."

.

"yaaaan....cucu neneeek... semur ayamnya udah matang.. mau makan?..." 


DEG. bacaan basmallah saya berhenti saat itu juga. Saya menutup telinga dengan kedua jari telunjuk saya.


"Yaaan.. Oo riaaan.. Semur ayamnya udah matang.. Sini makan dulu..."

Suara itu memanggil manggil saya dari arah dapur. Suaranya mirip.. Tidak.. PERSIS dengan suara nenek, namun seperti menggigil.


"Audzubikalimatillahi min syarri ma kholaq..

Audzubikalimatillahi min syarri ma kholaq..

Audzubikalimatillahi min syarri ma kholaq.. Ya Allah.. Lindungi.. Lindungi.. Lindungi.. " Saya merintih dalam doa saya sendiri karena ketakutan.


Lalu angin seperti lewat dari balik pintu kayu nenek yang ventilasinya berada di bawah dan atas ini. Tirai yang menutupi pintu kayu ini berkibar terkena angin tersebut. Dan tidak sampai hitungan detik..


TOK! TOK! TOK! TOK!

TOK! TOK! TOK! TOK!

TOK! TOK! TOK! TOK!


Pintu kamar ini diketuk berkali kali tanpa tempo yang jelas. Ketukan seperti memaksa untuk masuk atau memaksa dibukakan. 

Saya kemudian berpindah ke sebelah nenek. Kali ini saya duduk di atas kasur nenek bagian ujung.


Sementara suara ketukan itu terus terdengar..

"Rian buka.. Nenek udah masakin semur buatmu.." Tiba tiba saja dari luar suara menyerupai nenek yg gemetar terdengar..


"Rian... Bukakan pintunya ya, sayang nenek..."


"Rian... Bukakan pintu.."


"RIAN! KELUAR KAMU SEKARANG!!!!"


"RIAN! KELUAR KAMU SEKARANG!!!!"

DUK! DUK! DUK!


saya mendengar suara sesuatu yang tumpul menghantam hantam pintu kayu itu berulang ulang. Saya hanya menduga ini, tapi suaranya terdengar seperti kepala yang dihantam hantamkan ke pintu..


saya menutup mulut dgn tangan. Saya menangis terisak isak sambil meringkuk di samping nenek. Setelah itu, entah sejak kapan, saya sudah terlelap dalam mimpi saya.. Dan saya pun tidak tau apakah saya memang terlelap tidur, atau pingsan..


Saya terbangun dalam sebuah tempat yang saya tidak kenal. Sebuah hutan dengan pepohonan tinggi yang menghalangi sinar matahari. Beberapa daun kuning dan kering bertebaran di sekeliling saya. Di hutan itu, saya juga melihat beberapa hewan seperti rusa, ular, harimau dan kera..


Saya yg saat itu terkesima dgn apa yg saya liat, tiba-tiba saja dikejutkan dgn sebuah tepukan halus di punggung saya, dan saat saya berbalik, nenek sudah berdiri disana..masih dalam kondisi sehat, tersenyum hangat sambil memegang pergelangan tangan saya lalu memijit mijitnya..


Iya.. Persis seperti apa yang biasa nenek lakukan ketika mengobrol dengan saya..


"Ya Allah, nenek..." Ucap saya sambil menangis menahan haru dan rindu melihat nenek dalam kondisi seperti ini.


Saya bergerak untuk memeluk beliau. namun tiap saya mendekat, tubuh nenek seperti menghindar dan menjauh. Saya lakukan itu berkali kali dan tidak sekalipun saya dapat memeluk nenek walaupun saya sudah sangat dekat dengan beliau.


"Rian, cucu nenek, nenek mau pamitan ya.." kata nenek disana


"Pamit kemana nek? Nenek dirumah aja.." ujar saya waktu itu yg entah kenapa seperti tidak memahami maksud nenek.


"Waktu nenek udah sampai.. Apa yang nenek tanggung selama ini juga sudah tidak ada lagi, dan nenek sudah memilih kamu untuk dapat beliau.." kata nenek sambil menunjuk ke arah samping saya.


Saya lantas menoleh dan entah sejak kapan seekor harimau berbulu putih besar sudah berada di kanan saya.


"Ini.. Maksudnya apa nek?.." Tanya saya


"Itu Datuk Raja Air, milik kakekmu dulu yang terus berada di samping kakekmu..."


"Kami para orang tua dulu diturunkan Datuk Raja Air ini turun temurun. Seharusnya ini turun Septian, turunan laki laki dari darah kakekmu, Tapi dia orang yang keras dan ibadahnya kurang.. Datuk tidak mau mengikuti Septian dan akhirnya malah ikut ke nenek..


Begitu nenek lihat kamu sekarang, nenek yakin Datuk akan mau mengikuti kamu, kamu rajin beribadah, baik juga dan bersih.." ucap nenek dengan senyum lebar.


"Tapi untuk apa nek?? Rian ga bisa.."


"Rian, bantu nenek biar nenek bisa pergi dengan tenang ya... Badan nenek sudah bukan milik nenek lagi sejak sekian lama, tubuh nenek sudah kosong, dan Datuk Raja Air lah yang bikin nenek sedikit sadar. Waktu nenek berikan datuk Raja Air ke kamu, itu tandanya nenek sudah merasa cukup atas kehidupan nenek. Nenek udah melalui hidup yang nenek sangat syukuri.. Bisa ngeliat anak nenek hidup dengan orang orang yg baik, dan melihat cucu kesayangan nenek tumbuh jadi bujang yang sopan"


Mendengar ini saya menangis haru. Nenek begitu tenang dan tersenyum manis disana. Kerutan di ujung mata dan pipinya nampak begitu jelas menandakan usia nenek yang sudah sangat renta..


namun entah kenapa, senyuman itu terasa begitu tulus dan hangat.. membuat saya sadar saya akan kehilangan senyuman ini selamanya..


"...Kalau nenek bisa, nenek sebenarnya mau /ihat anaknya Meri sebelum pergi. Tapi badan nenek udah gak kuat Rian, nenek udah lelah.. Nenek juga mau ucapkan terima kasih buat Rian, buat Zulfikar, buat Meri, yg udah ngerawat tubuh nenek yg sudah kayak kayu, diam ga bisa bergerak. Maaf kalau tubuh nenek merepotkan kalian sebelum pergi, apalagi kamu Rian, yang seharusnya istirahat, jadi kerja keras urus nenek..."


"Engga nek.. Engga merepotkan.. Bahkan kalau nenek tetap seperti itu dan Rian harus nyuapin nenek dan mandiin nenek tiap hari, Rian... Rian sumpah tetep ikhlas ngelakuin itu kok nek..." Jawab saya diselingi isak tangis yang sudah tidak mampu saya tahan.


Nenek kembali tersenyum, kali ini dengan linangan air mata diujung mata nenek. "Aduh... Nenek rugi sekali ga bisa liat kamu menikah ya, cucu nenek.. Nenek juga minta maaf Nenek juga belum bisa masakin semur ayam terakhir buat kamu.. "


"...." Saya diam. Saya gatau lagi harus bilang apa.


"Udah, kamu jangan sedih..tolong doakan nenek dan jangan lupa sama nenek ya, nenek yakin doamu diijabah Alllah.. Doakan juga kakekmu.. Nenek duluan ya, Rian.."


Nenek kemudian seperti tertutupi oleh pepohonan dan menghilang.


Saya tersentak bangun saat itu juga dgn posisi menghadap nenek. Nenek sedang membuka mulutnya dan menengok ke arah saya. Saya bersyukur itu hanya mimpi semata.


Melihat nenek membuka mulutnya dan bergerak2 begitu, saya bertanya.. "Nenek mau apa? Mau minum?" tanya saya.


Tentu saja nenek tidak menjawab..saya lalu mengambil air yg berada di sudut ruangan. Namun ketika saya mau menuangkan air, saya teringat pesan om Zul untuk dipanggil ketika nenek meminta air.


Saya menaruh gelas yang sudah saya isi penuh air itu. "Sebentar ya nek. Rian ke om Zul dulu" kata saya ke nenek.


Sayapun keluar rumah, di ruang tamu saya sempat melihat jam menunjukkan pukul 2 dini hari.


Nampak rumah Tante masih terang dikarenakan lampu depan dan ruang tamu masih dinyalakan, tanda penghuni rumah belum tidur. 


Karena kali ini tidak ada hal aneh yg terjadi, saya mengetuk rumah tante Meri dengan santai dan biasa saja


"Assalamualaikum, om Zul, omm.." Panggil saya.


Dari balik jendela nampak bayangan om Zul keluar dari ruang tengah. Lalu beliau membuka pintu. "Waalaikumsalam, kenapa Rian?.." Tanya Om.


"Tadi om suruh kalau nenek bangun atau minta air suruh kasih tau om kan?, itu nenek minta air om" Jawab saya. 


Om Zul terdiam. Matanya menatap saya dengan pandangan kosong. Matanya lama kelamaan memerah lalu menangis. Om Zul lalu memeluk saya yang kebingungan itu lalu berbisik sambil sesegukan karena tangis. 


"Ri.. Rian... Itu.. Itu yang kamu liat bukan nenek... Nenek.. Nenek udah gaada lagi sejak maghrib tadi.." 


Dunia serasa berhenti saat itu juga untuk saya. Dada saya sesak. Mata saya tidak bisa berkedip untuk beberapa saat.


"Om.. Om ngomong apa.." Saya seperti orang linglung yang lupa ingatan


"Nenek udah meninggal sore tadi Rian.. Pas om peluk nenek dan pegang tangannya.. Nenek udah pergi waktu itu.." Ucap Om Zul masih disela sela tangisnya.


"Tapi om.. Nenek.. Nenek masih hidup om.. Nenek minta minum di dalam.. Om ayo! Kita masuk dulu!!" Ajak saya, memaksa.


"Engga Rian, itu bukan nenek.. Itu bukan.. Nenekmu udah gaada.."


Saya melepaskan pelukan om Zul dengan paksa. Saya berlari ke dalam dan membuka pintu kamar nenek tanpa salam. Badan saya gemetar dan  dada saya terasa sesak.


Saya langsung memegang tangan nenek.. yang ernyata sudah sangat dingin. Saya menaruh jari tangan saya ke hidung dan mulut nenek. Saya menunggu sangat lama. Saya berharap nenek menghembuskan nafas yg ia tahan tapi nyatanya tidak.. Tidak ada hembusan nafas yg saya rasakan..


Om Zul berdiri di ambang pintu masih sambil menangis. "Om.. Nenek udah gaada om.. Om kenapa ga bilang.. Om.." pikiran saya kacau. Bicara saya melantur.


"Rian, maafkan om.. Om awalnya ga mau bilang ini lebih awal.. Takut tantemu curiga dan kamu juga histeris.. Om sudah menelpon Bang Septian dan Kak Rina (ibu saya) dan menceritakam keadaan nenek kritis..


Ibumu sama bang Septian akan tiba besok pagi dan kita akan kuburkan nenek begitu anak anaknya sudah berkumpul.. Om ga mau mereka semua tau ini dari awal, om Septian masih membawa truk, ibumu juga lemah kalau diberitahu ini mendadak, dan tantemu sedang hamil.." Jelas om Zul. 


Saya menangis histeris dengan membenamkan kepala saya ke kasur. Saya menangis tanpa henti sepanjang malam sampai shubuh. Saya mengingat ucapan akhir nenek dan bagaimana beliau hadir untuk mengucapkan perpisahan kepada saya. Bagaimana senyuman hangat beliau dan semuanya..


Pagi harinya, satu persatu warga desa berdatangan setelah om Zul memberikan pengumuman di balai desa tentang meninggalnya nenek. Tante Meri diungsikan sementara karena khawatir akan janin di tubuhnya yg rentan jika tante meri stress.


Om Septian datang sekira jam 7 pagi, sementara ibu tiba sekitar jam 10 pagi dan langsung pingsan melihat rumah nenek dipenuhi orang dengan bendera kuning berkibar di halaman rumah.


Pemakaman nenek berlangsung penuh haru dan air mata. Ibu dan om Septian terlihat sangat terpukul dengan kepergian nenek yang bagi mereka mendadak, karena kami tidak memberitahukan perkembangan kesehatan nenek sebelumnya.


Beberapa hari setelah nenek dikuburkan, saya berbincang dengan om Zul mengenai apa yang saya lihat dan alami ketika nenek sakit, lalu om Zul menceritakan sebenarnya apa yg terjadi pada nenek dan kenapa nenek bisa sampai demikian..


Sebelum kejadian ini terjadi, nenek mendapatkan salah satu pasien yg meminta obat karena "tertegur" leluhur. Pasien ini merasakan sakit yg luar biasa. Nenek pun memberi obat dalam jumlah yg banyak, dikarenakan menurut nenek yg mengganggu ini adalah sosok yg kuat.


Namun ternyata, jin penganggu orang ini bukanlah jin liar, melainkan jin suruhan musuh dari pasien nenek tadi. Merasa di ganggu prakteknya, dukun yg digunakan oleh orang itu kemudian membelokan arah serangannya ke rumah nenek.


Selama ini nenek masih bisa bertahan karena ada Datuk Raja Air yang membentengi rumah, namun disisi lain, nenek juga semakin melemah dan merasa tubuhnya akan menyerah. Tapi jika seseorang masih memiliki "pegangan", maka kematian akan sangat sulit terjadi.


Pemilik pegangan bisa jadi sudah "mati" secara ruh, tapi jantung dan nafasnya dipaksa tetap hidup oleh para jin pegangannya. Nenek tau, keberadaan Datuk akan membuat nenek sulit untuk meninggal dunia kelak.


Nenek akhirnya memutuskan untuk memberikan Datuk ke saya, dan di malam yang sama, menyadari Datuk sudah tidak menjaga nenek, dukun itu kembali mengirimkan serangan ke nenek, itulah yang saya dengar berupa benda berat yang pecah di atap.


Sosok yang dikirim adalah wanita bermoncong kambing. Dia hidup di dalam perut nenek dan terus membesar dengan menyerap sari2 kehidupan nenek.. Harimau yang saya dengar itu justru adalah bentuk pertahanan dari Datuk kepada saya..


Sejak serangan itu berhasil mengenai nenek, sebenernya nenek hanya tinggal tubuh yang menunggu waktu untuk benar-benar habis.


Ketika om Zul pulang sehabis mengantar Tahte berobat waktu itu, om Zul sempat berkonsultasi ke orang "pintar" di sebelah dan mengatakan bahwa sosok ini memang tujuannya membunuh..


Sang "orang pintar" yang menyatakan, salah satu tanda jika santet itu berhasil, adalah adanya tulang menonjol berbentuk kotak di punggung nenek. Jika tulang ini sudah muncul, maka nenek sudah tidak akan lama lagi.


Saat Om Zul membopong nenek waktu itu, di punggung nenek belum ada tulang tersebut. Namun ketika terakhir om Zul angkat, tulang kotak itu terasa begitu menonjol keluar dari punggung nenek..


Menurut om Zul, selama ini Datuk menjaga nenek yg diancam oleh banyak pihak dan jin yg nenek ganggu. Ketika Datuk lepas, nenek bagaikan wadah kosong yg bisa dimasuki dan diserang kapanpun. Itulah kenapa saya mendapati banyak sosok menyaksikan & berkerumun saat nenek jatuh sakit.


Mereka sedang "antri" untuk bisa berbuat keburukan pada nenek. Saya ditugaskan menjaga pintu agar yg dari luar tidak bisa masuk dan memperburuk kondisi nenek kala itu.. Namun sebagian sosok lepas dan berhasil berbuat sesuatu pada nenek hingga tubuh nenek seperti itu..


Kalau alasan kenapa nenek terakhir kali saya lihat masih membuka mulut dan bergerak-gersj padahal sudah meninggal sejak maghrib, sayapun tidak tahu apa alasannya.


Sejak hari itu hingga kini, saya masih bisa melihat makhluk-makhluk ghaib tak kasat mata walau tidak begitu intens. Namun yg masih sering saya dengar adalah suara auman harimau yang kadang terdengar di tengah malam, padahal saya sudah tinggal di perkotaan bersama keluarga saya.


Saya sampai sekarang tidak paham apa saja efek samping keberadaan Datuk disisi saya. Namun yang saya harus waspadai, saya juga harus mencari "penerus" yang akan saya turunkan Datuk Raja Air jika saya ingin meninggal dengan tenang...... 


Noted : kisah ini bukanlah kisah nyata secara keseluruhan alur, melainkan kumpulan kisah kisah pendek nyata dan tambahan admin dari berbagai narasumber yang kemudian disatukan menjadi sebuah cerita utuh.

Kesamaan nama dan lokasi hanya kebetulan semata.


Terima kasih sudah membaca dan semoga cerita ini bisa memberikan pelajaran. 


Sumber : mwv_mystic

 


Post a Comment

أحدث أقدم