Tatar Sunda Masa Silam

Peta Jawa bagian barat yang memperlihatkan wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh pada sekitar abad ke 8-9 M.

Tatar Sunda adalah suatu wilayah yang berada di Pulau Jawa bagian barat, dalam wilayah ini kebudayaan dan tradisi etnik Sunda yang dominan dan masih dipertahankan hingga sekarang. Dewasa ini wilayah yang disebut Tatar Sunda mengacu pada wilayah Propinsi Jawa Barat dan Banten. Apabila didasarkan pada perkembangan kebudayaan Sunda, maka pengertian Tatar Sunda lebih luas dari Propinsi Jawa Barat dan Banten, semula meliputi wilayah seluruh Jawa bagian barat dan wilayah Jawa Tengah bagian barat. Hingga sekarang di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terdapat desa yang seluruh penduduknya masih bertutur sehari-hari dalam bahasa Sunda. Begitupun banyak nama tempat di wilayah Cilacap, Purwokerto, dan Brebes secara toponimi menggunakan kata-kata Sunda. Hal itu menunjukkan bahwa di masa silam pengaruh budaya Sunda melebar cukup luas hingga ke wilayah yang sekarang menjadi Propinsi Jawa Tengah. 

Di masa silam pengaruh kebudayaan luar yang pertama kali datang adalah aspek-aspek kebudayaan India kuna, yaitu dari anasir ajaran veda-brahmana. Pengaruh itulah yang meninggalkan jejak dalam bentuk peninggalan prasasti-prasasti dari Kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan prasasti-prasasti yang dipahatkan sekitar abad ke-4 M, dapat diketahui bahwa di wilayah Jawa bagian barat, yang kelak disebut Tatar Sunda, berdiri kerajaan pertama kali di Tanah Jawa yang meninggalkan bukti tertulis. Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya yang paling terkenal Purnnavarmman itu sangat mungkin mempunyai kedaton di wilayah pantai utara, mungkin di wilayah DKI Jakarta atau Bekasi. Menilik isi dan sebaran prasasti-prasastinya Tarumanagara dalam zaman pemerintahan Purnnavarmman berupaya menyebarkan pengaruh kekuasa' annya hingga sejauh-jauhnya ke pedalaman Jawa bagian barat (prasasti-prasasti itu dijumpai di wilayah Lebak, Bogor, dan Jonggol). Batas wilayah paling timur Tarumanagara kemungkinan besar adalah Sungai Citarum, karena nama sungai itu berasal dari kata Ci + Taruma (Sungai Taruma). 

Dari sudut pandang kemajuan peradaban, Tarumanagara menancapkan beberapa pencapaian awal bagi penduduk Jawa bagian barat yang diteruskan pada era selanjutnya dalam masa Sunda Kuno. Beberapa pencapaian itu adalah (a) penggunaan aksara pertama kali terjadi di Jawa bagian barat, dalam hal ini aksara Pallava dari India, (b) di Tanah Jawa masyarakat Jawa bagian barat yang pertama kali mengenal institusi kerajaan, (c) penduduk Jawa bagian barat secara tradisi selalu terbuka terhadap pengaruh asing yang dinilai baik. Masyarakat yang extrovert akan mudah menerima pengaruh luar dan dengan segera mengembangkan kebudayaan serta menularkannya ke wilayah tetangga.

Tarumanagara menghilang dari sejarah tanpa penjelasan yang memadai, hanya beberapa interpretasi sarjana saja yang mencoba menjelaskan perkara tersebut, Ada yang menjelaskan bahwa Tarumanagara runtuh akibat serangan dari Sriwijaya, tetapi ada juga yang mengemukakan bahwa kerajaan itu terpecah menjadi dua: Sunda dan Galuh. Sunda berkuasa di bagian sisi barat Jawa sebelah barat, sedangkan Galuh mmengembangkan kekuasaannya di wilayah timur hingga merebak ke Tanah Jawa bagian tengah. Sebagai pembatas kedua kerajaan itu adalah Sungai Citarum. Sungai itu juga menjadi kenangan atas kemegahan Tarumanagara sebagai kerajaan pertama di Jawadwipa. 

Ada kemungkinan tradisi Tarumanagara terus dilanjutkan dalam masa raja Sanjaya yang menurut Carita Parahyangan berkuasa atas wilayah Jawa bagian barat dan Jawa Tengah (Atrja, 1968). Kerajaan sang Sanjaya itu disebut dengan Mataram, berasal dari kata ma + taruma (“menjadi Taruma”) lalu diucapkan matarum dan akhirnya menjadi mataram. Demikianlah setelah Tarumanagara lenyap dari sejarah di Tatar Sunda berdiri Kerajaan Sunda yang berpusat di wilayah Bogor. Adapun Galuh kuna beribukota di wilayah Ciamis. 

Dalam konteks kebudayaan Hindu-Buddha yang berkembang pada masa itu, kedua kerajaan tersebut memilih lokasi ibukotanya dekat dengan gunung yang paling mengesankan di wilayahnya. Ajaran Hindu dan Buddha menyatakan bahwa titik pusat alam semesta adalah Gunung Mahameru. Oleh karena itu Kerajaan Sunda berlokasi dekat Gunung Salak dan Gunung Gede di wilayah Bogor. Gunung Salak merupakan gunung yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Sunda kuna, bahkan hingga sekarang tetap dipandang sebagai gunung yang angker. Gunung itu memiliki banyak puncak, sebagaimana halnya dengan Mahameru, di puncak tertingginya terdapat surga tempat persemayaman dewa. Lain halnya dengan Kerajaan Galuh kuna. Kerajaan tersebut terletak di dekat gunung yang dikeramatkan di wilayah Tatar selatan, yaitu Gunung Galunggung. Gunung itu sangat penting sehingga banyak naskah Sunda kuna yang menyatakan adanya Kabuyutan Galunggung yang harus dipertahankan oleh para raja dari serbuan orang asing. 

Kedua kerajaan itu pernah berkembang bersama sekitar abad ke-7sampai awal abad ke-8. Menurut Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, Sanjaya—pemangku takhta Galuh—kemudian menjadi menantu dari Maharaja Tarusbawa dari Sunda. Berkat pernikahan tersebut Tatar Sunda kembali dipersatukan dan diperintah oleh seorang penguasa saja (Darsa & Edi Ekajati, 2003). Setelah masa pemerintahan Sanjaya, agaknya ibukota Tatar Sunda berlokasi di wilayah Ciamis. Walaupun demikian keraton Sri Bima Punta Madura Narayana Suradipati yang telah didirikan pada zaman Trarusbawa tetap dipertahankan di wilayah Bogor. Pada masa yang kemudian, yakni dalam abad ke-14, keraton tersebut dihuni lagi para raja Sunda setelah mereka memindahkan ibukota Tatar Sunda dari wilayah Ciamis ke Bogor hingga keruntuhan Kerajaan Sunda Kuno pada tahun 1579 M. 

Demikianlah yang dimaksudkan dengan “Tatar Sunda Masa Silam” adalah wilayah Jawa bagian barat dan bagian barat Jawa Tengah yang dihuni masyarakat yang mengembangkan kebudayaan Sunda kuna. Berdasarkan berbagai bukti arkeologis dan sumber tertulis dapat diketahui bahwa masyarakat masa itu masih mengembangkan kebudayaan aslinya (baca: masa prasejarah) yang diselimuti anasir agama Hindu dan Buddha. Pengkajian secara mendalam menunjukkan bahwa anasir Hindu dan Buddha itu hanya merupakan bumbu pelengkap saja, atau sekedar kulit luar saja, dari kebudayaan Sunda kuno karena yang menjadi hakikat inti adalah pemujaan kepada kekuatan superhumanbeing yang bukan berasal dari kebudayaan India. Apabila demikian halnya, maka konsep adikodrati tersebut merupakan konsep asli orang Tatar Sunda kuna hasil pengalaman kehidupan dan perjalanan sejarah kebudayaan mereka. 

Tatar Sunda masa silam berbeda dengan peradaban Jawa Kuno yang relatif agak jelas. Kajian peradaban Jawa kuna lebih baik dan pemahamannya dapat lebih luas dan mendalam berkat adanya sumber arkeologis yang relatif memadai dan sumber tertulis yang lebih banyak daripada tentang Sunda masa silam. Kajian yang dilakukan tentang Sunda kuna bertumpu pada data yang terbatas dan juga sumber folklore yang kadang-kadang dapat membantu juga untuk memecahkan permasalahan. Apa pun hasil kajian tentang Tatar Sunda masa silam bukanlah sesuatu kesimpulan akhir, mungkin dapat membantu membuat celah untuk menyinari kegelapan tentang masa silam tatar Sunda. Oleh karena itu sudah selayaknya apabila celah itu harus diperlebar lagi di masa mendatang.

Post a Comment

أحدث أقدم