Mengakses Keuntungan Teleconference

Kemacetan, efisiensi bujet perusahaan, dua hal utama yang mendorong semakin banyaknya orang bekerja mobile atau bekerja dari rumah, bahasa kerennya officeless. Untuk mendukung hal ini, kemudahan komunikasi menjadi kunci utama. 

Mengubah pertemuan fisik menjadi teleconference antara kantor dan rumah, antara kantor dan kantor di satu kota, luar kota, hingga antar negara bukanlah hal yang sulit dilakukan selama ada lokasi dan koneksi lnternet mumpuni. 

Bisnis penyedia lokasi teleconference menjadi peluang besar, bermodal ruangan di lokasi strategis dan koneksi Internet. Sumitro Roestam, 

Ketua Masyarakat Telematika lndonesia mengatakan penggantian pertemuan fisik menjadi teleconference sangat menguntungkan dan efisien, dari sisi makro jelas mengurangi kemacetan dan waktu yang terbuang.

"Bagi sebuah perusahaan tentu biaya transportasi perjalanan dan akomodasi berkurang. Hasil kerja juga bisa dipantau langsung. Dari pada memindahkan ibu kota, lebih baik kurangi kemacetan dengan mobile office atau bekerja dari rumah," ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu. 

Bekerja dari rumah tidak memerlukan koneksi Internet yang besar, khusus untuk pertemuan tatap muka (video conference) bisa memanfaatkan layanan bisnis center di sekitar rumah. Dia menggambarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bisa menghemat hingga Rp195 juta dengan melakukan teleconference untuk rapat kerja dengan kementerian, salah satu contohnya Kementerian Perhubungan.

Beberapa pengeluaran yang dipangkas seperti biaya satuan pengamanan presiden sebanyak 200 orang dikali Rp100.000, total Rp20 juta. Kerugian waktu kerja sekitar 5.000 eksekutif yang terjebak macet selama 30 menit karena jalan ditutup menunggu rombongan melintas. Sebagai asumsi gaji mereka rata-rata Rp5 juta per bulan atau Rp25.000 perjam. Sebanyak 5.000 orang dikalikan dengan Rp12.500 untuk 30 menit waktu tertahan setara dengan Rp62,5 juta. Terakhir, biaya bensin mobil 5.000 eksekutif yang terjebak selama 30 menit, dengan asumsi konsumsi 5 liter premium se-harga Rp4.500 per liter, total Rp112,5 juta. 

Komisaris PT Broadband Network Asia menambahkan bisnis layanan teleconference dalam bentuk bisnis center merupakan peluang bagus saat ini, yang penting pemilihan lokasi dan ketja sama dengan operator. 

"Kerja sama dengan operator telekomunikasi bisa per bulan unlimited atau per pemakaian. Memang biaya kerja sama dengan operator berbeda, lebih mahal dibandingkan dengan langganan ritel," dia menuturkan. 

Ada beberapa pilihan cara akses Internet yang bisa dipilih, menggunakan wireless broadband (tanpa kabel), atau wireline broadband (dengan kabel). Akses dengan wireless broadband memanfaatkan jaringan operator teIekomunikasi berbasis teknologi seluler mulai dari kecepatan akses GPRS, EDGE, HSPA, hingga HSDPA. Operator berbasis teknologi CDMA menggunakan EV-DO, dan jaringan Wi-Fi atau WiMax. 

Akses dengan wireline broadband bisa menggunakan layanan kabel seperti Speedy dari PT Telkom Tbk, kabel optik PT First Media Tbk, PT Lintasartha, atau penyedia jaringan kabel lainnya. 

"Kecepatan akses yang diperlukan untuk melakukan video conference tanpa terputus sekitar 1Gb per detik, untuk 512 Mb per detik sebenarnya memungkinkan selama koneksinya stabil," ujarnya. 

Memulai usaha Barata Wisnu Wardhana, Ketua Umum Forum Komunikasi Broadband Wireless Access Indonesia (FKBWI), mengatakan biaya menjalankan usaha ini beragam, bisa dengan upgrade warung Internet menjadi semacam bisnis center atau membuka dari awal. 

"Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Modalnya mulai dari Rp50 juta hingga Rp1 miliar, ber-gantung pada lokasi, fasilitas yang disediakan, dan kecepatan akses Internet," ujarnya. 

Dia menggambarkan modal meningkatkan warnet di sebuah ruko menjadi lokasi layanan teleconference untuk unit komputer dan satu server sekitar Rp30 juta, perbaikan lainnya adalah penataan ruangan, biayanya mulai dari Rp20 juta hingga tidak terbatas. Biaya lebih besar untuk membangun di lokasi yang lebih strategis, modal awal sekitar Rp400 juta, belum termasuk operasional selama setahun sebesar Rp600 juta. Namun, tingginya minat dan masih terbatasnya pemain membuat besar investasi kembali modal dalam jangka waktu 2 tahun. 

Selama ini masih jarang pemain yang khusus membangun tanpa kerja sama operator, karena biaya akses Internet yang dikenakan biasanya lebih mahal jika tanpa kerja sama. Pemilihan dan keberanian menawar diperlukan, apalagi persaingan antar operator cukup ketat. 

Operator telekomunikasi seperti Telkom dan Indosat di Jakarta juga menyediakan gedung atau ruang multimedia yang disewakan, tetapi biayanya lebih mahal dibandingkan dengan milik pengusaha perseorangan. Menurut dia, biaya sewa ke operator yang mahal, bisa dua kali lipat dibandingkan dengan tarif bagi ritel, tentu saja kualitasnya harus dipastikan lebih baik. Paling penting stabil, jangan naik turun sehingga gambar dan suara tidak putus-putus. (Fita Indah Maulani).

BACA JUGA : Si Cantik Yang Menjanjikan 



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama